Part satu bisa lihat di sini :D.
Part kedua bisa lihat di sini :D.
Part ketiga bisa lihat di sini :D
Part keempat bisa lihat di sini :D
Part kelima bisa lihat di sini :D
Semoga tidak bosan untuk membaca ya Sobat Sajian Kira :D!
***
Kakek dan nenek tampak membenarkan posisi duduknya yang kini berada di kiri dan kananku. Mereka saling beradu tatap denganku yang penuh kebingungan.
“Jadi, mengapa harus pindah dari rumah itu? Bukankah itu rumah yang aku tempatin sejak kecil, Kek, Nek? Terlebih itu adalah rumah pemberian Kakek dan Nenek ‘kan?” Aku meminta penjelasan dari keduanya yang hanya termangu sejak tadi.
“Kau pernah lihat ada gundukan di belakang rumah? Ah, tepatnya di kebun belakang?” Kakek mencoba meluruskan telisik di pikiranku.
Tiba-tiba saja desau angin malam mulai membuat bulu kudukku berdiri. Beberapa kali aku sedikit menggerakkan tengkuk, mengusapnya pelan dengan jemari. Lantas aku mulai menjawab pertanyaan kakek dengan menggeleng pelan dan lekas membenarkan posisi duduk. Tentu saja aku mulai siap untuk jawaban terburuk dari mereka.
“Kami tahu meski ini pemberitahuan yang telat tapi kami harap pernyataan ini tak menyurutkan rasa rindumu, Nduk.” Nenek menimpali dengan membenarkan posisi duduk dan lipatan jarik cokelat parangnya. Sanggulnya yang bergeming pun tampak disentuh beberapa kali. Mungkin saja pertanda bahwa ia kurang yakin dalam menyampaikan maksudnya kali ini.
“Di belakang rumah, tepatnya bersebelahan dengan kebun buah yang dikelola oleh Pak Joko, tukang kebun yang kalian pekerjakan itu, ada 3 makam besar.”
Nenek berkata dengan nada cukup tenang. Meskipun demikian, aku nyaris tersedak air liurku dan membuyarkan suasana. Aku enggan bertanya lagi, menelisik lebih jauh lagi. Aku membiarkan nenek atau kakek menyelesaikan kalimatnya. Karena takutnya mereka justru tidak berkata jujur dan terkesan melenceng dari fakta kejadian.
“3 makam besar itu terdiri dari makam Kakek dan Nenek. Lalu
makam satunya–.”
Nenek enggan melanjutkan, suaranya
terseka di pangkal lidah. Aku ingin memasang wajah terkejut, tapi dibanding itu
aku memilih memasang wajah penuh tanya. Jawaban yang kuterima saat ini adalah
kuburan mereka terletak di belakang rumah dan itulah sebabnya mereka bisa
berkeliaran di sekitar rumah, ikut menjaga dari tangan jail seperti Mbak Kun
atau mas-mas lain.
“Uhm, perlu kamu ketahui, Nduk. Bahwa
alam yang kau tempati saat ini berbeda dengan alam duniawi. Ini adalah alam
transisi di mana siapa pun bebas berlalu lalang asal sefrekuensi.”
Lagi-lagi aku hanya bergeming, membiarkan
kakek menyelesaikan ucapannya. Meski puluhan tanya di benakku mulai mengembang
dan mengusut layaknya benang, tapi aku tetap menunggu mereka menjelaskan.
“Kuntilanak tadi berniat mengambilmu,
mengambil nyawamu. Ia menumpang di ruh Nenek yang kurang sigap dalam menghalau
keusilannya. Kakek pun juga salah, membiarkan bau-bauan menyan mengelilingi
sekitar. Sampai sini kuharap kau perlahan mulai mengerti, Nduk.”
Mataku hampir lepas saat menatap mimik
mulut kakek. Rasa-rasanya ada beberapa kalimat penting yang ia utarakan. Meski
ia duduk di sebelahku, tapi rasanya sangat jauh. Aku hanya bisa mengamati gerak
mulut dan wajahnya.
“Kami telah menghalaunya, menghalau yang
lain datang juga. Kami tak ingin kenangan rumah joglo beserta perabotan
kesayangan kami ini menjadi rusak akibat ulah mereka yang urakan.”
“Sebentar Kek, Nek, biar aku luruskan.
Jadi, rumah ini adalah rumah pugaran dari Kakek dan Nenek. Dari yang sebelumnya
rumah joglo luas dengan segala perabotan dan kondisi seperti saat ini. Lalu
selang waktu berlalu saat Ayah menikah dengan Ibu dan lahirlah Kak Ibnu serta
aku, rumah joglo ini mulai dipugar? Dan foto besar di ruang tamu itu sebagai in memorian kalian. Lalu saat Kakek dan
Nenek wafat juga dikuburkan di belakang rumah. Nah, makam ketiga ini punya
siapa, Kek, Nek? Apa saudara kita? Atau saudaraku? Ibu kadang enggan bercerita
tentang seluk beluk saudara Ayah dan Ibu selain Bibi dan Paman di Jogja serta
Brebes itu.” Aku tak sanggup menahan banyak benang kusut di kepala. Setelah
memuntahkannya, rasanya sedikit lega meski mereka menatapku dengan tatapan
berbeda. Seakaan ada salah dari tiap jengkal kata yang kuucap atau ada sesuatu
yang belum lengkap.
“Memang, keluarga kita hanya berasal dari
Jogja dan Brebes saja, Nduk. Makanya mereka tak pernah menjelaskan hal lain. Ah
ada satu hal yang kau lupa dari simpulanmu tadi. Masalah waktu. Mungkin sudah
saatnya kami bercerita karena tak mungkin kami menahan ruhmu terlalu lama di
sini.” Kakek mulai menjelaskan dengan gamblang. Namun, aku ingin sekali meminta
tolong agar cukup jangan diteruskan. Kepalaku mulai terasa sakit dan denging di
telingaku kian menjadi.
Nenek lekas mengambil kendi berisi air
bening yang sedari tadi menyempil di samping. Permukaan air itu tampak sedikit
bergoyang akibat digeser. Meski kendi itu berwarna cokelat tua dan setinggi
lututku, tapi isinya terlihat cukup jelas di mata. Dasar kendinya tampak
bersinar terang sehingga terlihat jelas isinya meski permukaan air masih belum
tenang
“Arghhh! Cukup, Nek, Kek! Cukup!” Tiba-tiba
aku menangkap sesuatu yang memilukan dan terus menjerit histeris menyaksikan
air bening itu.
****
-bersambung.
Part ketujuh atau terakhir bisa klik di sini :D
#ChallengeKomunitasODOP #OneDayOnePost
Post a Comment
Post a Comment