Part satu bisa lihat di sini :D.
Part kedua bisa lihat di sini :D.
Part ketiga bisa lihat di sini :D
Part keempat bisa lihat di sini :D
Part kelima bisa lihat di sini :D
Part keenam bisa lihat di sini :D
Semoga tidak bosan untuk membaca ya Sobat Sajian Kira :D!
***
Kakek dan nenek yang tampak renta itu,
masih sanggup memegangi tubuhku yang bergetar hebat menyaksikan tiap benda mati
di dalam rumah memancarkan residu. Bagaimana tidak, aku diperlihatkan oleh benda-benda
mati yang bisa bersaksi, menceritakan tentang sadisnya sebuah pembunuhan keji.
Entah setan bahkan iblis mana yang merasuki si pembunuh, tampaknya istilah
manusia tidak lagi bisa diberikan padanya.
Di halaman samping rumah, tempat biasa aku
menjemur pakaian serta berlatih yoga, ada Bu Minuk dan Pak Joko sedang
bertengkar hebat. Mereka saling adu mulut dan adu argumen. Aku kurang jelas
menangkap suara mereka, hanya gerak-geriknya yang bisa kucerna. Bu Minuk
menyeret kasar tubuh Pak Joko yang dua kali lebih besar dari tubuhnya. Sesekali
ia juga mengayunkan beberapa pakaian dalam yang sangat familiar–. Ah itu
punyaku ternyata, brengsek!
Tidak hanya satu atau dua potong, tapi
tak terhitung disembunyikan di balik jaket besarnya. Namun, aku tak menemukan
pakaian dalam ibu, hanya pakaian dalamku saja. Sialan! Belum selesai dengan itu,
tiba-tiba ada suara rintihan yang terdengar jelas, menggema setelah Pak Joko
menampar tubuh Bu Minuk dengan kencang. Akibatnya Bu Minuk terjerembab ke dalam
selokan belakang rumah yang masih belum selesai dipugar, banyak besi beton menganga
dan disitulah ajal menjemput.
Aku berteriak lantang dan mungkin otot
leherku tampak menegang, tapi lagi-lagi kakek dan nenek membiarkan suara
kencangku keluar seakan-akan mereka tidak mendengar. Aku tak peduli dengan itu
karena di saat bersamaan aku mendengar rintihan seorang perempuan, “Mas, kamu kok tega sekali. Berapa kali aku
memergoki fetismu yang kambuh. Gila! Kau sudah beristri, Mas!”. Setelah
suara lirih itu menggema di telingaku, lalu dengan teganya Pak Joko menampar
wajah Bu Minuk hingga tak sadarkan diri dengan tubuh menancap besi.
Arghhhh! Aku tak sanggup melihat residu situasi
ini. Argh! Bu Minuk rupanya orang yang melayaniku di warung tempo hari. Berarti
yang kemarin aku lihat adalah makhluk astral, pantas saja ia berusaha acuh
menenangkanku. Argh! Aku ingin sekali berhenti menyaksikan semua putaran para
benda mati bersaksi. Namun, rasa penasaran jauh lebih menguasai diri.
Pak Joko masih gelap mata, bahkan auranya
sangat gelap. Sesekali tampak kelebat bayangan hitam mengungkung dirinya. Kakek
mengiyakan hal itu, bahwa Pak Joko menganut ilmu hitam. Jasad Bu Minuk
digendong sampai ke perkebunan yang saat itu belum terawat seperti sekarang,
banyak ilalang dan rumput liar menjadikannya tampak hutan belantara di tengah
kota. Tanpa segan, Pak Joko langsung menguburkannya di dalam liang tanah
seadanya. Tepat saat itu juga aku baru mengetahui bahwa ada dua makam dengan
bentuk kepala nisan yang berbeda meski sama-sama berwarna putih. Nisan dengan
bentuk kepala yang lebih besar layaknya lambang raja itu terukir nama kakek
serta nisan yang satunya juga tertulis nama nenek. Sepanjang aku hidup, baru kali
ini mengetahui kuburan mereka dekat dengan rumah. Kedua orang tuaku tak pernah
mengajakku menjenguk kijing-kijing leluhur bahkan sekadar bercerita. Mereka
terlalu tertutup padaku atau mereka mungkin tak peduli, hanya mengurus soal
duniawi.
Selang hari berganti, tiba-tiba Pak Joko
menawarkan bantuan untuk membereskan proses renovasi selokan karena katanya aliran
parit itu berimbas pada warga sekitar. Ia juga menambahkan ingin membersihkan
kebun belakang biar lebih menghasilkan, nantinya ia tak perlu digaji dan akan
meminta hasil kebunnya saja. Tentu saja ayahku membolehkan secara ia adalah
orang yang pelit, ketika bisa mengirit bagaimana mungkin ia tolak.
Tepat sebulan kemudian tiba-tiba Kak Ibnu
harus dirawat dan masuk rumah sakit akibat terjatuh saat pendakian. Ayah dan
ibu yang baru saja pulang dinas, tampak terkejut mendengar telepon dari kawan
Kak Ibnu yang menjelaskan bahwa Kak Ibnu berada di rumah sakit, terjatuh akibat
tergelincir saat mendaki serta diagnosis baru dari dokter tentang sakit kanker
tulang yang dideritanya. Tanpa aba-aba mereka langsung pergi begitu saja tanpa
mengabariku. Tepat saat itu pula aku menatap tanggal dan waktu kejadian yang
ada di layar ponsel ibu yang sedang menyala. Hari itu juga merupakan tanggal kejadian,
dimana sorenya saat aku baru pulang dari kuliah dan mendapati rumah telah
kosong. Sialnya aku acuh saja dan terus melenggang masuk dan naik ke lantai dua.
Hingga saat malam tiba barulah aku tersadar bahwa rumah belum dinyalakan semua
lampunya.
“Aku ingin berhenti melihat ini, Kek,
Nek. Aku tak sanggup melanjutkan!” Kini aku menangis tersedu-sedu. Riak-riak di
tenggorokkan ikut meramaikan suasana hatiku, memperberat suara tangisan pilu.
“Nduk, pada bagian ini mungkin bisa jadi
kunci jawaban mengapa kau bisa di sini dan kelak kau akan tahu harus kemana
serta berbuat apa.” Nenek melegakan duri-duri pilu yang mulai menusuk tiap
organ tubuhku.
Aku melanjutkan menonton kejadian di mana
aku perlahan tersadar. Saat itu, aku hendak turun ke lantai satu dan menyalakan
serangkaian lampu, tiba-tiba saja aku disekap dari arah belakang oleh dua
orang. Mereka tanpa busana sehelai pun, menyekapku dan menusuk tubuhku denga dua
belati, satu di punggung dan satunya di kepala. Aku tewas seketika dan sebelum
beberapa malaikat–atau apalah sebutannya yang jelas wujud mereka putih dan
transparan serta sangat wangi–itu terbang mendekat, aku berucap lirih,”Aku ingin mengingat kematianku dengan lebih
baik atau mungkinkah aku bisa bertemu dengan Kakek dan Nenek. Karena mungkin
saja mereka akan merangkulku saat ini, menyelematkanku sebelum hal ini terjadi.
Atau bolehkah aku hidup sebagai makhluk lain yang bisa mengutuk mereka karena
aku ingin membalas dendam!”
Argh! Kepalaku sakit sekali rasanya dan
tubuhku terasa tercabik-cabik. Kakek dan nenek terus memelukku dengan kencang,
sesekali terdengar tangisan mereka juga.
“Mungkin, itulah penyebab Ayah dan Ibu
ingin menjual rumah ini. Biar aku jadikan mereka yang keji itu, menjadi makhluk
yang tak akan pernah diterima di alam manapun, bahkan bumi dan langit akan
membenci. Mereka tidak bisa hidup atau mati sampai kapanpun harus membayar
dosanya!”
Penglihatanku mulai kabur, ingatan yang
kurasa baru terjadi beberapa waktu kemarin nyatanya semua itu fana. Ibu-ibu di
pasar bukanlah makhluk astral, melainkan aku dan si empunya warung alias Bu
Minuk lah yang ruh gentayangan. Aku hampir kehabisan kata-kata menjelaskan
bagaimana rentetan kejadian yang ada tampak seperti nyata. Padahal semua itu
hanyalah fana, hanyalah pintaku semata yang ingin mati dengan lebih baik.
***
Selesai.
#ChallengeKomunitasODOP #OneDayOnePost
Terima kasih sudah mengikuti cerita
bersambung ala kadarnya dari Sajian Kira. Kami tidak ada maksud saru atau
nganu. Kami semata-mata ingin bercerita bahwa baiknya Sobat Sajian Kira tetap
berhati-hati di mana pun berada. Waspada dan berdoa kuncinya. Jadikan cerita
ini hanya sebagai pembelajaran semata saja ya, semoga tidak benar-benar
terjadi.
Terima kasih yang sudah menyelesaikan
membaca sampai akhir, kami tidak bisa membalas apa pun pada Sobat Sajian Kira
kecuali doa agar selalu diberi keselamatan dunia dan akhirat. Salam~.
Post a Comment
Post a Comment